Selasa, 29 Juni 2010

Foreign policy dan decision making process?

Politik luar negeri pada dasarnya adalah kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu sebagai perangkat formula, nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, terlebih memajukan national interestnya dalam tatanan dunia (Perwita,2005:47). Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa dalam proses pembuatannya, politik luar negeri berbiimplikasi secara langsung juga pada politik dalam negeri negara tersebut. Meski, dalam pelaksanaanya sungguh berbeda, agak rumit untuk dijelaskan namun yang perlu di tekankan disini adalah, politik luar negeri dan politik dalam negeri adalah dua hal yang berbeda dengan jelas, namun keterkaitannya satu sama lain tidak dapat dielakkan lagi dengan jelas. Berikut beberapa faktor dalam keterkaitannya tentang sumber keputusan tentang kebijakan luar negeri (decision makers of foreign policy) yang dibagi oleh Rousenau kedalam 5 faktor utama:

Faktor individual, model ini menjelaskan bahwa karakteristik psikologi dan predeliksi (kegemaran) dari seorang pemimpin politik berpengaruh secara langsung terhadap output decisionnya. Akan tetapi variabel karakteristiknya menjadikannya sangat susah untuk diukur. Seorang psikiater Erich Fromm, menyimpulkan bahwa seorang pemimpin yang otoriter lebih mudah direfleksikan kepada semua hasil keputusannya daripada seorang pemimpin yang demokratis yang melulu harus mengikuti pola check and balance pemerintah, pers yang bebas, kekuatan parlemen atau kongres, opini public, atau pun kelompok penekan lainnya. Sehingga pola kebijakan politik di negara demokratis menjadi lebih susah di tebak melalui perspektif individual ini(Couloumbis,1981:129)

Lebih spesifik Robert Jervis menjelaskan, seorang individu lebih krusial terhadap resiko penyalahgunaan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, karena seorang individu lebih berpotensi menggunakan emosi dan ego nya dalam mengambil keputusan daripada menghasilkan keputusan yang bersolusi alternative (Kauppi,1987:207).

Irving L Janis menjelaskan tendensi untuk tekanan sosial dalam proses pengambilan keputusan adalah sebuah model efektif yang menggabungkan pemikiran banyak orang dalam mengahadapi persoalan bersama dan menyimpulkan sebuah keputusan sebagai landasan untuk memberikan respon balik. Seperti pada kasus teluk Babi di Kuba, kebijakan Amerika untuk ikut andil dalam perang di Korea dan Vietnam adalah contoh nyata dimana dibalik semua kebijakan luar negeri yang dihasilkan dilatar belakangi oleh keputusan bersama beberapa orang secara rasional dan kritis dengan maksud memberikan tekanan terhadap lawannya.

Faktor bureaucracy pertama diperkenalkan oleh Allison dalam studinya tentang krisis Kuba, dan sering dimaknai mirip bahkan disamakan dengan model organisasional padahal nyatanya model ini lebih fokus ke pada peranan tiap-tiap unit, bukan kepada struktural. Menurut Allison, model ini juga lebih fokus kepada interaksi antar organisasi dalam hal bargaining dan competing preferences, tapi bukan dalam artian secara keorganisasian namun lebih menjelaskan tarik ulur politiknya(xx,yy:zz).

Menjadi lebih structural daripada model grup, disini opini perseorangan yang bebas didalam kelompok tersebut lebih di strukturkan. Lebih jauh, Hence menjelaskan bahwa model ini adalah gabungan dari aktor individual dan aktor organisasi yang dalam pencapaiannya diperlukan forum forum terbuka(xx,yy:zz).

Model ini menekankan pada peranan banyak birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri dan tidak memfokuskan hanya pada akot pembuat keputusan luar negeri suatu negara saja (Perwita,2005:66). Pada model ini, pemerintah dipandang sebagai sebuah organisasi besar yang terdiri dari banyak individu dan organisasi yang lebih kecil didalamnya. Para birokrat bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sehingga mereka juga dapat mempengaruhi implementasi terhadap politik luar negeri yang mereka buat. Sehingga, politik luar negeri disini dianggap bukan produk rasionalitas seseorang melainkan produk dari hasil berbagai perundingan (bargaining), kompromi (compromise), dan penyesuaian (adjustment).

Faktor National system, justru lebih cenderung merujuk kepada atribut nasional yaitu elemen elemen power yang ada di suatu negara. Namun tidak hanya itu, kepadatan penduduk, ataupun elemen power yang lainnya dapat dimaksukkan dalam factor ini. Sistem politik, ekonomi, dan sosial suatu negara juga merupakan atribut nasional suatu negara yang sangat besar pengaruhnya dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Karena variabel nasional sedemikian luasnya sehingga gabungan dari banyak factor kecil tersebut dapat membawa dampak yang besar bagi eksistensi suatu negara, sehingga diperlukan sikap yang pragmatis dan taktis dalam pencapaian keputusan pada saat yang bersifat krisis. Karena tidak memungkinkan untuk mengambil tindakan perbaikan ditambah lagi adanya tekanan dari berbagai pihak (Coulombis,1981:132-135).
Faktor global system, juga berpengaruh dalam proses decision making. Mari kita flashback pada masa ketika sistem internasional kita menggunakan sistem balance of power, dampaknya pada kebijakan politik yang ada pada waktu itu akan berbeda dengan dampak sistem bipolar pada masa coldwar maupun pada masa sekarang. Karena para penstudi hubungan internasional tradisionalis menganggap bahwa kebijakan luar negeri adalah sebagai respon langsung atas kesempatan kesempatan dan tantangan eksternal, yang dalam hal ini adalah tantangan yang timbul sebagai dampak dari konstelasi sistem internasional yang ada pada masanya.

Decision-making model, pertama di populerkan oleh Richard C Synder, yang menyatakan bahwa studi hubungan internasional harus berasa diantara aksi, reaksi, dan interaksi antar state. Menurut Synder, state didini dikhususkan kepada para decision-makers, orang yang berada dibalik pertanggung jawaban atas kebijakan (Evans,1998:114) dan state actionnya (Kauppi,1987:205). Keterkaitan antara state dan decision maker ini membuat Hence membaginya kedalam dua penjelasan, (1) bagaimana seorang decision maker memandang sebuah problema dengan analisis secara subjektif dan (2) bagaimana sebuah state mengaplikasikan dan menggali potensi dari hasil pemikiran decision makernya.(Kauppi,1987:205)

Berangkat dengan asumsi dasar bahwa tindakan internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan-keputusan yang dibuat oleh unit politik domestik, dimana para pemimpin negara (individual maupun kelompok) bertindak sebagai aktor utama dalam proses pengambilan keputusan, yang menekankan pada analisis jaringan birokrasi organisasi yang kompleks dengan berbagai prosedur kelembagaannya.(Perwita,2005:64)

Peranan kepemimpinan, persepsi, dan sistem kepercayaan dari para pembuat keputusan, arus informasi diantara mereka merupakan fakto penting untuk menjelaskan pilihan kebijakan yang diambil. Synder mengemukakan dalam procedural pembuatan kebijakan, model ini membuat apapun yang menjadi determinan dalam politik luar negeri akan diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan. Sehingga kelebihan dari model ini adalah dimensi manusia menjadi lebih efektif karena dalam prosesnya tersebut peranan manusia, dalam hal ini decision maker sangatlah berperan(Perwita,2005:64)

Menurut Perwita, ada satu lagi percabangan dari model ini yaitu incremental decision making model yang memandang politik luar negeri sebagai suatu ektra dengan sifat ketakpastian dan kuranglengkapan informasi sehingga outputnya (decision) menjadi kurang rasional dan pilihan yang diambil hanyalah sebuah kesepakatan bersama tidak berdasarkan apakah output tersebut menyelesaikan permasalahan atau tidak. Dan proses decision-making suatu negara tidak dapat dipisahkan dari proses decision making negara lain, karena menurut pandangan realisme, proses ini ialah proses siklo yang tidak pernah berhenti, karena pun ketika sudah ada output daripada proses decision making sebelumnya yang sudah melalui proses blackbox, dimana semua interverensi masuk kepada pihak pengambil keputusan terhadap input yang ada, output yang terjadi itu pun akan berdampak, atau bahkan menjadi stimulus bagi input negara lain. Menurut perspektif realisme, blackbox yang ada memang benar- benar complicated dan sehingga memang layak dikatakan blackbox karena ke’hitam’annya. Lain menurut neoliberalis, yang mengannggap blackbox masih dapat di telusuri secara mekanisme structural dalam usaha pembuktian alur proses yang ada dip roses blackbox tersebut.

Menurut saya pada masa sekarang, lebih tepat jika dikatakan bahwa politik luar negeri sebaiknya mengadaptasi segala tindakan mereka berdasarkan perspektif adaptif, strategis, dan sehinggga proses pengambilan keputusan bisa berjalan dengan maksimal, entah dengan keputusan individual, kelompok kepentingan, maupun melalui musyawarah birokratis tentunya diimbangi dengan pertanggung jawaban dari sumber pembuat keputusan tersebut. Sehingga output dari proses decision making itu pun berkualitas baik, dalam artian menggunakan rasionalitas dan dapat dipertanggung jawabkan oleh pihak-pihak yang mengusulkannya, baik individu maupun yang lainnya.

Akan tetapi masih ada hal yang menjadi pertanyaan bagi saya sendiri, jika memang ada varaibel birokrasi yang bisa dipahami sebagai variabel yang mencakup individual dan juaga kelompok kecil, tentunya kedua variabel itu sudah tidak berjalan sendiri, namun diakomodir oleh variabel birokrasi, lalu apa fungsi kedua variabel ini.

Daftar pustaka

Perwita ,DR. Anak Agung Banyu & DR. Yanyan Mochammad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.

Couloumbis,Theodore A & Wolfe,James H.1981.Pengantar Hubungan Internasional,Keadilan dan Power .A Bardin:Bandung

Kauppi, Mark V dan Viotti, Paul R,1987.International relation theory: realism, pluralism,globalism, and beyond. Needham:Allyn and Bacon.

Evans, Graham.1998.The penguin dictionary of International Relation.London: Penguin books.

Tidak ada komentar: